Oleh : Ilham Zain (Ketua PPM Kab. Nunukan)
Suatu saat di Bulan Juni 2002, ketika penulis menemani perjalanan Gubernur Lemhanas Prof. DR. Ermaya, M.Sc. dan beberapa orang Perwira Tinggi TNI dalam rangka tugas khusus yang diberikan oleh Presiden Megawati. Rombongan penting ini bertujuan untuk melihat dari dekat kondisi ril perbatasan dan potensi lainnya, termasuk celah Sipadan dan Ligitan yang konon kaya akan kandungan minyak.
Bersama rombongan ini Penulis mendapatkan pelajaran dan gambaran potret buruk perjalanan bangsa ini. Sesampainya rombongan di Pulau Sipadan dan Ligitan (ketika itu baru saja lepas dari pangkuan Ibu Pertiwi) nampaklah bahwa teritorial republik ini pada dasarnya rawan dengan statusnya sendiri. Kenapa bisa begitu? Karena kita yang mempunyai batas laut yang luas tidak berpintu ini hanya di jaga oleh personil TNI yang minim akan semua fasilitas untuk sebuah Negara yang kaya dan luas.
Padahal sebenarnya wilayah ini adalah notabene garda terdepan penjaga kedaulatan di perairan laut dan darat negara. Maka untuk kepentingan menjaga kewibawaan dan kedaulatan negara ini apakah cukup bila TNI hanya dibekali dengan senjata dan peralatan tempur yang sederhana dan operasional yang sangat minim.
Pada persoalan lainnya, kita juga dihadapkan pada kerakusan dan ketamakan terhadap alam oleh bangsa sendiri. Seperti kasus P. Sebaik yang luas awal 70 hektar di Tanjung Balai Karimun sekarang ini hanya tinggal 10 hektar akibat tanah dan pasirnya di jual ke Singapura, negara tetangga yang lebih maju dan makmur. Ini adalah sebuah ironi yang selalu saja terus mengahantui saya untuk membuat tulisan seperti ini.
Saya jadi teringat rumusan Schwarzenberger, seorang ahli Hukum Internasional yang merumuskan bahwa sebagian besar hubungan Internasional ditentukan oleh kekuatan politik (power politics). Dan hukum Internasional itu tugasnya hanya merumuskan hasil–hasil yang sudah dicapai oleh negara-negara dalam perjuangan politik Internasionalnya.
Hal inilah yang sudah dibuktikan oleh Pemerintah Malaysia, yaitu dengan menggarap secara sistimatis dan efisien potensi kedua pulau itu. Selain itu, kita bisa lihat para prajuritnya dalam menjaga kedaulatan wilayahnya dibekali dengan persenjataan yang berteknologi standar dunia. Dimana–mana kita juga mudah sekali merasakan dan melihat infrastruktur ekonomi yang dibangun dari ibukota negaranya sampai pada tingkat lokal dengan kesungguhan dan niat yang terpadu dengan kebanggaan sebagai negara makmur.
Beberapa tahun kemudian , ketika perpres 19 tahun 2006 muncul, dengan konsep pembangunan perbatasan dan pulau terluarnya, seberkas harapan menyeruak seiring kedatangan rombongan 12 kementerian yang berkunjung ke Nunukan. Kunjungan itu dilakukan beberapa bulan terakhir dengan membawa kesiapan program membangun infrastruktur perbatasan yang selama ini tidak kita temui di daerah perbatasan.
Seperti yang terlintas dalam fikiran saya bagaimana mungkin konsep yang idial ini baru bisa ditangkap dan diterjemahkan Pemerintah Jakarta setelah sekian lama kita merdeka, padahal sudah selayaknya Pembangunan Nasional dan pembangunan di daerah harus diidentikan dengan dua mata uang logam yang saling menyatu.
Pembangunan di daerah pada hakekatnya merupakan bagian integral dari pembangunan nasional dan sebaliknya. Pembangunan juga diarahkan untuk mengembangkan daerah dan menyelaraskan secara bertanggung jawab laju pertumbuhan antar daerah, antar kota dan desa, antar sektor. Pembangunan juga didasari oleh pembukaan dan percepatan pembangunan kawasan suatu daerah dari sisi pengembangan potensi ekonomi, potensi SDA (suistanable development) maupun titik tolak dari potensi kesejarahan yang memang sudah lama mewarnai lahir dan berkembangnya suatu kota/daerah.
Apalagi saat sekarang ini dengan adanya asumsi bahwa potensi konflik suatu daerah (konflik horizontal nasional atau konflik antar negara) dapat memicu menjadi persoalan yang semakin besar, bak bola salju, yaitu mengarah pada disintegrasi bangsa.
Oleh karenanya daerah perbatasan, daerah terpencil, daerah krisis daerah minus harus dapat berkembang sesuai dengan prioritas dan potensi daerah itu sebagai suatu kesatuan yang terintegrasi. Posisi geo-posisi dan geo-strategsi RI yang diapit oleh dua benua, mempunyai batas wilayah internasional dengan 10 negara tetangga. Perbatasan didarat terdiri dari 3 (tiga) negara yaitu Malaysia, PNG, dan Timor Leste. Sedangkan sebagai negara kepulauan (Archipelagic State) Indonesia mempunyai batas maritim berupa batas wilayah (territorial), batas landas kontinen dan batas Zona Ekonomi Ekseklusif (ZEE) dengan sepuluh negara yaitu India, Thailand, Malaysia, Singapura, Vietnam, Filipina, Palau, PNG, Timor Leste, dan Australia.
Kenyataannya sampai saat ini walaupun sudah 3 dasawarsa kemerdekaan Indonesia dan sudah 6 kali pergantian pucuk pimpinan nasional, namun harus diakui bahwa pengelolaan batas wilayah negara baik batas darat maupun batas di laut belumlah tuntas sepenuhnya. Di dalamnya masih penuh dengan permasalahan-permasalahan. Seperti illegal fishing; illegal loging; illegal trading; trafficking; peredaran obat-obatan terlarang, jalur dan lintas terorisme, uang palsu dan gangguan keamanan lainnya
Pidato Presiden RI pada sidang Paripurna DPD-RI tanggal 23 Agustus 2005 tentang Pembangunan Kawasan Perbatasan mengatakan bahwa : “Khusus untuk kawasan-kawasan perbatasan darat dengan negara tetangga, akan dikembangkan pembangunan secara terpadu dengan mengintegrasikan pendekatan kesejahteraan (prosperity approach) dan keamanan (security approach).
Pembangunan Kawasan perbatasan juga sudah diatur di dalam Peraturan Presiden RI Nomor 19 tahun 2006 tentang Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2007; dimana Pembangunan Daerah Perbatasan merupakan salah satu prioritas dari 9 bentuk prioritas pembangunan pada tahun 2007.
IMPLEMENTASI DAN URGENSI
Terbentuknya kelembagaan, adanya kesepakatan pendanaan dalam pengelolaan perbatasan dalam satu tim, sudah menunjukkan adanya tanda-tanda ke arah yang lebih baik. Namun demikian, dalam rangka lebih efektifnya pembangunan kawasan perbatasan mau tidak mau saat ini pemekaran wilayah Kalimantan Timur menjadi prioritas utama yang tidak bisa disumbat. Apalagi bila hanya melihat dari alasan bahwa keinginan provinsi Kaltara ini hanyalah keinginan elit politik tertentu saja.
Namun dengan luas Kaltim yang 245.237,8 Km2 atau 12 % dari luas daerah Indonesia (dari 3 Provinsi) , mau tidak mau harus kita uji kembali. Artinya ada alasan lain yang lebih penting dari sekedar alasan tendensius seperti itu yaitu Negara kita yang luas ini perlu disederhanakan persoalannya agar manajemen pengelolaannya lebih fokus dan serius. Karena tidak ada satupun Pemerintah suatu Negara dengan wilayah yang luas dapat menentukan kebijaksanaannya ataupun melaksanakannya kebijaksanaan ataupun programnya secara efektif dan efisien melalui system sentralisasi (Bowmen & Hampton, 1983).
Sesuai butir 1 lampiran Perpres No.19 Tahun 2006 dari sasaran pembangunan daerah perbatasan, maka DPD-RI menyarankan agar Presiden RI membentuk Badan Pengelola Kawasan Perbatasan di 7 Propinsi yang berbatasan dengan negara tetangga yaitu Papua, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, NTT, Sulawesi Utara, Kepulauan Riau dan Aceh.
Badan ini dipimpin oleh masing-masing Gubernur dan anggota-anggotanya terdiri dari Pangdan/Danrem, Kapolda, Danlantamal, Danlanud, Kajati, Imigrasi dan seluruh sektor terkait. Kita tentu menggantungkan banyak harapan dengan Badan seperti ini namun dari substansi persoalan sepertinya Perubahan dan keberpihakkan pada masayarakat yang berdiam di daerah perbatasan yang sudah pasti sangat berbeda psiko-sosiologis ekonominya maupun mental NKRI nya dengan daerah lain.
Namun walaupun Presiden SBY telah menutup rapat–rapat keinginan untuk memekarkan daerah baru, maka hendaknya menjadi perhatian kita bersama akan formulasi yang tepat untuk meyakinkan Pemerintah kembali. Kita juga harus bisa meyakinkan Pemerintah bahwa ada persoalan lain yang perlu disikapi. Maka dengan rasa optimistis kita harus sepakat bahwa ada alasan lain yang menjadi tuntutan itu.
Alasan lain itu antara lain adalah bahwa Kaltara tidak saja menjadi kebutuhan lokal daerah tapi juga menjadi kepentingan Negara. Wilayah ini sebenarnya sangat strategis karena mempunyai ekskalasi regional dan global di suatu saat nanti. Namun sudahkah masing-masing kita memahami alasan ini? Dengan militansi dan konsistensi kita yang solidlah yang akan mampu berargumentasi bahkan menguji kembali alasan Pemerintah menolak keinginan daerah untuk memekarkan diri. Oleh karenya tidak ada pilihan lain bagi kita untuk tidak merapatkan barisan, menyamakan visi dan jangan tergadai oleh vested interest yang dangkal dan tidak beralasan.
MEKANISME KERJA
Keinginan untuk membentuk Provinsi Baru Kaltara sebenarnya sudah lama “ dimainkan” dan digulirkan laksana orang yang bermain bola. Sekarang bola itu sudah dekat di ujung gawang tinggal siapa yang menjadi eksekutornya. Namun karena terkesan bahwa kita saling berebut mencetak gol, akhirnya bola tadi urung dicetak ditendang masuk. Bahkan sekarang bola sudah disemprit oleh Pemerintah, hanya gara–gara persoalan yang bersifat syarat kewilayahan yaitu minimal 5 kabupaten/kota, akhirnya Provinsi Kaltara urung direstui oleh Pemerintah.
Padahal ketika wacana ini mulai bergulir sebelum tahun 2000, tidak ada halangan-halangan yang berarti, dari segi aturan juga masih match dengan PP no. 129 tahun 2000. Namun setelah lama berupaya ternyata sampai saat ini agenda pembahasan provinsi kaltara masih belum ada tanda–tanda untuk dibahas. Seperti yang kita maklumi bahwa untuk menggolkan sebuah RUU sampai menjadi UU sedikitnya memakan waktu 142 hari sebagaimana tahapan yang diatur dalam Tatib DPR RI .
Yang terakhir adalah tim baru Percepatan Pembentukan Kaltara bentukan DPRD Provinsi Kaltim. Seperti tim-tim sebelumnya, sampai saat ini kita mendapat kenyataan bahwa, akibat tidak taktis dan biasnya tim–tim itu dalam bekerja, menjadi penyebab mentahnya aspirasi mulia ini.
Mestinya kita bisa belajar pada beberapa daerah yang sudah sukses membangun kebersamaan tim sehingga terwujudnya provinsi baru seperti Provinsi Gorontalo dan Sulbar. Upaya-upaya yang dilakukan oleh tim yang mereka bentuk dilakukan dengan sangat sistimatis dan terstruktur dan tidak bias. Layaknya sebuah tim yang sangat kompak, bahkan kita bisa melihat bagaimana mereka memulai wacana dan mengakhirinya dengan suatu kesuksesan yang mampu melunasi segala jerih payah serta terkurasnya banyak energi yang telah dikorbankan.
Apalagi sekarang ini selain keinginan kuat warga Utara Kaltim menginginkan pembentukan Kaltara, kita juga mendapatkan dukungan positif dari wakil di DPD dari utusan Kaltim. Sekarang tinggal bagaimana kekuatan itu disinergikan alias tidak jalan sendiri–sendiri, agar supaya (termasuk yang terpenting adalah) teritorial yang luas ini bisa mendapatkan keutuhan sempurna dengan fasilitas standard dan memadai.
Termasuk di dalamnya adalah dengan dukungan semangat juang tinggi prajurit TNI dan POLRI, serta tidak kalah pentingnya dukungan moral berupa reaksi positif warga perbatasan akan adanya program-program peningkatan kesejahteraan masyarakat. Semua itu secara simultan akan dapat mengurangi tingkat kerawanan fisik, sosial dan psikologis masyarakat. Sebab selama ini sering menjadi keluhan masyarakat yang tidak terdengar atau tidak tersuarakan dengan baik.
Dengan manajemen atau pengelolaan isu-isu perbatasan yang cerdaslah yang akan membawa perbaikan bagi kita bersama, baik bagi masyarakat perbatasan, bagi kepentingan regional dan nasional yang menyangkut kehormatan bangsa bahkan mendukung perdamaian dunia. Termasuk pula dalam hal ini adalah upaya untuk menyederhanakan sistim, infrastruktur dan suprastruktur dalam satu pengelolaan yang lebih fokus, dengan pengelolaan yang terintregrasi dalam satu naungan wilayah Kalimantan Utara. Oleh karena itu tentu kita sebagai warganya akan sangat berharap banyak dengan berdirinya Provinsi Kalimantan Utara (Kaltara).
(Editing seperlunya oleh Dian Kusumanto)